BANGKIT INDONESIA BERANTAS KORUPSI
TUGAS
ILMU SOSIAL DASAR
TEMA
: “Korupsi”
JUDUL
: “Bangkit Indonesia Berantas Korupsi”
Penyusun
:
Nama :
Innel Dwi Putri Laharisa
NPM :
22417931
Kelas :
1 IC 07
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sudah menjadi fenomena
yang biasa di dalam masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa
sepertinya korupsi sudah menjadi budaya. Indonesia bagaikan surga
bagi para koruptor. Korupsi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia menderita
dan hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi PR bersama mengingat
korupsi berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi
terbawah sekalipun.
Pemberantasan Tindak
Pidana korupsi di atur dalam UU no.31 tahun 1999, Uu no.20 tahun 2001 dan bentuk
pelaksanaan dari pasal 43 UU no. 31 tahun 1999 yaitu dibentuknya UU no.30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat KPK.
Menjamurnya korupsi
di Indonesia merupakan wajah keterpurukan yang harus disehatkan.Untuk
itu dalam pembahasan disini mencoba untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang
menyebabkan terjadinya korupsi dan bagaimana pencegahannya.
Korupsi bukan barang baru
di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC karena korupsi, korupsi
sudah lama dikenal. Upeti dizaman kerajaan dimasa lalu adalah sa;ah satu bentuk
korupsi. Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu
budaya yang sulit dirubah karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang
merupakan moralitas atau akhlak.Untuk merubah itu semua perlu dicari
sebab-sebab dan bagaimana untuk mengatasinya. Penyebab utama adanya korupsi
adalah berasal dari masing-masing individu dan untuk mengatasinya harus dimulai
dari penyusunan akhlak yang baik dalam diri manusia itu sendiri selain
upaya-upaya lain yang bersifat eksternal berupa pencegahan-pencegahan melalui
penegakan hukum itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas
maka penulis dalam kesempatan ini berkeinginan untuk meneliti tentang korupsi
dan strategi pemberantasannya.
B. Rumusan
Masalah
Agar permasalahan yang
akan diteliti menjadi lebih jelas dan i mencapai tujuan yang diinginkan maka
perlu disusun perumusan masalah yang didasarkan pada uraian latar belakang.
Adapun perumusan masalah ini adalah:
1. Apa
Faktor penyebab adanya korupsi ?
2. Bagaimana
peranan normatif Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan
Penelitian
1. Mendeskripsikan
dan menjelaskan adanya karakteristik tertentu tentang
Tindak Pidana Korupsi yang harus diselesaikan oleh kejaksaan, kepolisian,
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tindak Pidana Korupsi yang harus diselesaikan oleh kejaksaan, kepolisian,
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Untuk
mengetahui langkah-langkah / strategi dalam pemebrantasan korupsi
D. Manfaat
Penelitian
Hasil
penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat
penegak hukum, dalam rangka pelaksanaan proses penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, agar sesuai dengan peraturan
perundang undangan anti korupsi dan perundangan lainnya yang relevan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kasus
Pemberantasan korupsi
sejatinya tak hanya soal angka-angka, tetapi juga tentang bagaimana perjuangan
melawan korupsi harus dijaga. Tampaknya ini yang terus mendapat ujian.
Penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan misalnya, jelas
merupakan upaya mengerdilkan pemberantasan korupsi, dan hari ini memasuki 242
hari, pelaku dan dalang penyiraman Novel Baswedan masih belum terungkap.
Juga dalam kasus korupsi
proyek KTP elektronik tak mudah bagi KPK dalam menyidik Ketua DPR Setya Novanto
yang menjadi tersangka dalam kasus ini.
Bahkan KPK mesti dua kali
menetapkan status Novanto sebagai tersangka. Tanpa perlawanan yang kuat,
tikus-tikus koruptor akan menggerogoti harapan akan kemakmuran di negeri ini.
Mencuri hak-hak rakyat untuk sejahtera. Hal ini sudah menunjukkan banyaknya
kasus korupsi yang tengah terjadi di Indonesia.
Beberapa contoh kasus
yang sudah dialami negeri ini, yaitu :
Kasus
pertama :
Kasus
Dugaan Korupsi Soeharto
Kasus dugaan korupsi
Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang
diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab),
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan,
Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen
dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus
tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung,
sejak tahun 1999.
Uang negara 400 miliar
mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos
Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas
kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara
Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua
di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini,
bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk
ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada
1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas
Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp
3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris
Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia
membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27
perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob
Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra,
putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama
Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor,
guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha
menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
Kasus
kedua :
Wakil
Bupati Terdakwa Kasus Korupsi
Wakil Bupati Agam, Umar,
terdakwa kasus dugaan korupsi anggaran pada Dinas Pekerjaan Umum Agam tahun
2008, divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada
Pengadilan Negeri (PN) Padang, 1 tahun 5 bulan pidana penjara.Selain menghukum
terdakwa 17 bulan penjara dipotong masa tahanan, majelis hakim diketuai Imam
Syafei, didampingi dua anggota, Kamijon dan Perry Desmarera, juga mewajibkan
terdakwa membayar denda Rp 50 juta, atau 2 bulan penjara. Vonis ini lebih
ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama 2 tahun penjara.
Mendengar putusan ini,
Umar menyatakan pikir-pikir. Begitu juga JPU. Terdakwa atau JPU diberi waktu
tujuh hari sejak putusan dibacakan untuk mengajukan banding. “Kami pelajari
dulu putusan dan membicarakannya dengan kuasa hukum,” kata Umar yang mengenakan
batik, dan kopiah usai persidangan.Meski telah divonis, Umar tetap bersikukuh
tidak bersalah. Mantan kepala Dinas PU Agam itu mengklaim telah melakukan
pekerjaan sesuai peraturan. Berdasarkan fakta di persidangan, keterangan saksi,
dan barang bukti, menurut majelis hakim, terdakwa telah menggunakan uang
pemeliharaan jalan sebesar Rp 347 juta dari Rp 2,8 miliar yang dianggarkan di
APBD Agam.
Meskipun sudah
mengembalikan uang tersebut, majelis hakim tetap menyimpulkan terdakwa terbukti
melakukan penyelewengan sebagaimana diatur UU No 31/1999 sebagaimana diubah dan
ditambah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan JPU, yakni Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat
(1) huruf b (2), (3) UU No 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No
20/2001. Di antaranya, unsur setiap orang, unsur menguntungkan diri sendiri dan
orang lain, unsur menyalahgunakan kewenangannya selaku kepala Dinas PU
Kabupaten Agam, dan unsur merugikan keuangan negara,” tutur Imam Syafei saat
membacakan vonis.
Di antara fakta
persidangan sesuai keterangan saksi-saksi, uang dana pemeliharaan dicairkan 5
kali. Setiap pencairan, terdakwa meminta uang kepada Bendahara Umum Dinas
Pekerjaan Umum (DPU) Agam, Hendri dan Marjan untuk kepentingan pribadi. Hendri
dan Marjan terpaksa memberikan uang tersebut kepada atasannya di Dinas PU Agam.
Terdakwa juga merangkap sebagai pengguna anggaran (PA) pada proyek pemeliharaan
jalan. Proyek tersebut dikerjakan secara swakelola. Kasus ini mencuat ketika
pemeriksaan Inspektorat.
Terdakwa lalu
mengembalikan uang tersebut sebanyak tiga kali. Yakni, pertama ke Bank Nagari
15 Februari 2010 sebesar Rp 100 juta, 9 April 2010 Rp 150 juta, dan 12 April
2010 Rp97 juta. Total keseluruhannya Rp347 juta. (Red/Redaksi_ILS)
Sumber: padangekspres,
Kamis, 6 Oktober 2011
BAB
III
TEORI
Korupsi atau rasuah
(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk,rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupunpegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu
yang secara tidak wajar dan tidaklegal menyalahgunakan kepercayaan publik yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalah gunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri,
dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Adapun Beberapa
kondisi yang mendukung munculnya korupsi yaitu:
1. Konsentrasi
kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung
jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim
yang bukan demokratik.
jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim
yang bukan demokratik.
2. Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3. Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar
dari pendanaan politik yang normal.
dari pendanaan politik yang normal.
4. Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5. Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman
lama".
lama".
6. Lemahnya
ketertiban hukum.
7. Lemahnya
profesi hukum.
8. Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9. Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil
Pada intinya korupsi
adalah perbuatan imoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode
pencurian dan penipuan. Seperti bentuk-bentuk kejahatan yang sering terjadi di
masyarakat, perbuatan korupsi termasuk salah satu kejahatan yang dikutuk
masyarakat dan terus diperangi oleh pemerintah dengan seluruh aparatnya. Hal
ini disebabkan karena akibat serta bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan
tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara, menghambat dan
mengancam program pembangunan, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi
masyarakat dalam tugas pembangunan dan menurunnya kepercayaan rakyat pada
jajaran aparatur pemerintah.
Faktor yang merupakan
kendala dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut, yang kita jumpai selama ini
antara lain meliputi; belum memadainya sarana dan skill aparat penegak
hukumnya. Kejahatan korupsi yang terjadi baru diketahui setelah memakan waktu
yang lama, sehingga para pelaku telah memindahkan, menggunakan dan menghabiskan
hasil kejahatan korupsi tersebut, yang berakibat upaya pengembalian keuangan
negara relatif sangat kecil, beberapa kasus besar yang penanganannya kurang
hati-hati telah memberi dampak negatif terhadap proses penuntutan perkaranya.
Salah satu kelemahan dalam pemberantasan korupsi dari segi hukum sehingga
menghambat aparat penegak hukum terletak pada “masalah pembuktian”. Hal ini
sebagai akibat dari cara berpikir hukum Barat diterima begitu saja tanpa
mengolahnya kembali sesuai kebudayaan timur dan hukum.
Adanya green light dari
pemerintah tersebut diharapkan dapat menjadi dukungan bagi aparat penegak hukum
khususnya yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia. Kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
adalah sebagai Lembaga Negara bantu dalam upaya pemberantasan korupsi yang
semakin merajalela. KPK bukan merupakan bagian dari eksekutif/pemerintah,
legislative/Dewan rakyat ataupun yudikatif/peradilan. Menurut Penulis dalam hal
ini dimaksudkan agar KPK bebas dari kepentingan-kepentingan polistis dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kenyataannya memang KPK dalam
menjalankan salah satu tugasnya yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi telah menangkap beberapa
tokoh/pejabat dari eksekutif, legislative maupun yudikatif. KPK berfungsi
sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai
stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada
sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Komisi Pemberantasan Korupsi
dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK dalam
melaksanakan tugasnya memberantasan korupsi, harus berdasarkan pada asas-asas
sebagai berikut :
- “kepastian hukum” adalah asas dalam
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
- “keterbukaan” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
- “akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- “kepentingan umum” adalah asas yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
dan selektif;
- “proporsionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jadi para aparat penegak
hukum dalam upaya menegakan hukum harus memiliki “rasa keadilan” sehingga
Penegakan hukum khususnya dalam hal ini hukum pidana jangan sampai menjadi alat
penindas, namun juga harus memiliki manfaat bagi para semua pihak. KPK sebagai
salah satu lembaga Negara yang berfungsi khusus untuk memberantas tindak pidana
korupsi soyogyanya dapat lebih melakukan koordinasi dengan lembaga penegak
hukum lainya seperti Polri dan Kejaksaan RI. Salah satu tugas KPK, selain
melakukan upaya “pemberantasan” tindak pidana korupsi juga melakukan
tindakan-tindakan “pencegahan” tindak pidana korupsi. Jadi seharusnya KPK juga
melakukan langkah preventif/ sebelum adanya tindak pidana korupsi
dengan cara melakukan pengawasan dan pembinaan hukum secara lebih
maksimal. Pembentuk Undang-Undang yaitu Presiden RI dan DPR RI harus
memperjelas mekanisme koordinasi antara KPK dengan penegak hukum lainnya.
BAB
IV
ANALISIS
Berkenaan dengan tema
korupsi, berdasarkan alasan tersebut maka judul penulisan ini adalah : “Bangkit
Indonesia Brantas Korupsi” Pada artikel yang tekandung dalam
pesan “civis pacem parabellum” di www.darwinsaleh.com dengan tema
“Indonesia disebut sebagai bangsa yang lembek, benarkah?” pada blog Miftahol
Harifin “Merajut Indonesia yang kokoh tanpa korupsi” berpandangan
bahwa memang belakangan Indonesia sedang lembek dan rapuh lantaran digerogoti
oleh penyakit korupsi. Kekokohan Indonesia sebagai bangsa seolah terkikis oleh
korupsi. Karenanya, adalah tugas kita untuk memerangi korupsi jika mau bangsa
ini kembali kokoh. Korupsi adalah musuh nyata kita saat ini.
Bagi saya Indonesia ini,
korupsi bukan lagi masalah yang sepele. Menurut Darwin Zahedy Saleh dalam
artikelnya “korupsi masalah strategis bangsa” di www.darwinsaleh.com, korupsi
sudah menjadi masalah utama bagi Indonesia saat ini. Kita bisa lihat belakangan
ini, praktik korupsi seolah beranak-pinak.
Tidak bisa dimungkiri
bahwa korupsi di Indonesia sudah masuk tingkat akut. Korupsi sudah menjadi
persoalan struktural, kultural dan personal. Persoalan struktural karena telah
melekat pada seluruh sistem pemerintahan, dari eksekutif, legislatif hingga
yudikatif. Persoalan kultural karena praktik korupsi telah diterima menjadi
kebiasaan dalam masyarakat dewasa ini. Sedangkan persoalan personal karena
mentalitas korupsi telah menyatu dalam kepribadian orang Indonesia pada
umumnya.
Data Transparency
International (TI) mencatat, sejak tahun 1995 – 2013 Indonesia selalu
ditempatkan sebagai negara terkorup. Hasil riset TI tahun 2013 menunjukkan
indeks persepsi korupsi (corruption perseption index) Indonesia bercokol di
urutan 114 dari 177 negara, sedikit lebih baik dari tahun 2012 dimana Indonesia
duduk di peringkat 118 dari 176 negara. Sementara pada tingkat ASEAN, peringkat
korupsi Indonesia masih jauh di bawah Singapura (peringkat 5), Brunei
Darussalam (38), Malaysia (53) dan Thailand (102).
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga mencatat, selama rentang waktu 2004 – 2013 sudah
terdapat 1705 kasus korupsi yang ditangani. Ironisnya, setiap tahun jumlahnya
cenderung meningkat, 2004 (27 kasus), 2005 (74 kasus), 2006 (116 kasus) 2007
(159 kasus), 2008 (199 kasus), 2009 (212 kasus), 2010 (196 kasus), 2011 (225
kasus), 2012 (221 kasus) dan 2013 (276 kasus). Data KPK ini seolah
menggambarkan bahwa korupsi di Indonesia bergerak seperti deret hitung.
Kuantitasnya semakin menanjak.
Lahirnya
KPK memang atas keinginan politik parlemen pada saat itu, dimana sebagian
anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi lebih intensif karena
lembaga hukum terkait, lambat dalam melakukan penuntasan kasus korupsi.
Banyaknya korupsi di negara
kita baik di pusat maupun di daerah sebenarnya membuat negara kita jalan di
tempat atau tidak maju, karena dana yang seharusnya untuk pembangunan di pakai
mereka yang melakukan korupsi untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Sementara rakyat, terutama
yang seharusnya mendapatkan pembangunan masih belum merasakan manisnya
pembangunan. Infrastruktur di pedesaan misalnya jalan, jembatan dan saluran
irigasi masih dibiarkan rusak sehingga masyarakat tidak menikmati pembangunan
yang sudah direncanakan. Masyarakat masih sulit membawa hasil buminya ke kota
karena jalan yang rusak maupun jembatan yang putus.
Korupsi terhadap dana
kesehatan, pendidikan ataupun subsidi BBM yang harusnya direalisasikan demi
kepentingan rakyat, khususnya rakyat miskin. Namun karena dana-dana tersebut
telah dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak
rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat
serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari.
Indonesia sebagai Negara
berkembang (sebutan sejak saya kecil sampai saat ini), bukan negara maju.
Apakah label ini karena banyak orang orang kita khususnya para pejabat baik di
pusat dan di daerah senang melakukan korupsi. Memang politik yang terjadi
di Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan, sehingga masih banyak terlihat
kekurangan dalam dunia perpolitikan.
Demikian juga dengan
sikap para elit politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan.
Oleh karenanya banyak kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di
Indonesia. Mereka bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban untuk
mensejahterakan masyarakat. Mereka malah ingin memperpanjang kekuasannya dengan
cara melakukan korupsi.
Korupsi memang
benar-benar telah menjadi sebuah masalah yang cukup berat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya marilah kita dukung pemerintahIndonesa
atau pemerintahan Jokowi yang adil dan bersih dari unsur-unsur korupsi. Sikap
korup para pejabat dan elit politik merupakan penyebab timbulnya masalah
kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Namun demikian kita
melihat masih banyak elit elit politik bersih yang kita harapkan mampu membantu
menumpas jaringan korupsi yang ada dengan segala kewenangannya. Semuanya elemen
harus bersinergi di dalam membantu KPK menumpas segala macam praktek korupsi
yang ada di Indonesia.
Fakta-fakta di atas
sungguh menampar kesadaran kita, betapa korupsi di Indonesia sudah kronis.
Bahkan, dari fakta itu pula kita melihat korupsi sudah membabat seluruh elemen
pemerintahan. Mulai dari kasus korupsi yang melibatkan birokrat eksekutif,
wakil rakyat di DPR hingga yang menyeret hakim-hakim lembaga yudikatif. Kasus
suap yang melibatkan ketua MK misalnya, adalah bukti nyata kalau virus korupsi
sudah menodai lembaga yudikatif.
Banyaknya koruptor dan
jumlah uang yang dikorupsi pun seolah berjalan beriringan. Negara yang tadinya
merugi jutaan rupiah, sekarang negara merugi miliaran bahkan triliunan rupiah.
Selama tahun 2013 saja, KPK berhasil selamatkan kerugian negara Rp.1,196
triliun dari tangan-tangan kotor koruptor, lebih besar dibandingkan dengan
tahun 2012 yang berjumlah Rp.113,83 miliar. Bisa dibayangkan jika angka yang
sebesar itu dibandingkan dengan penghasilan masyarakat kita sehari-hari.
Begitu kompleksnya
persoalan korupsi tentu dampaknya juga fatal bagi bangsa. Layaknya parasit,
lama-lama akan membuat bangsa ini semakin rapuh. Jelas kita tidak ingin hal itu
terjadi. Kita tidak ingin bangsa yang tercintai ini lembek, keropos dan hancur
lantaran terus-menerus dilumuri oleh praktik kotor korupsi. Kita ingin
Indonesia bersih dari segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Sebuah bangsa dan negara yang kokoh tanpa korupsi.
Oleh karena itu, perang
melawan korupsi harus terus dikobarkan. “Civis pacem parabellum”, jika ingin
mewujudkan bangsa yang kokoh maka kita harus siap dan berani memerangi korupsi
sampai tuntas. Itulah pekerjaan rumah (PR) kita ke depan. Memberantas korupsi
yang demikian kompleks tentu bukan pekerjaan mudah namun bukan berarti mustahil
jika kita mau berusaha keras. Optimisme itu harus tetap ada walaupun memang
tidak semudah membalik telapak tangan (baca artikel “tetap harus dimulai
sekalipun belum tentu selesai” di www.darwinsaleh.com).
Hemat penulis, ada empat
gerbrakan strategis yang harus kita lakukan untuk memerangi korupsi: pendekatan
struktural, kultural, pemimpin teladan dan agama. Pertama, pendekatan
struktural yang menekankan bahwa semua elemen baik Pemerintah, Polri, KPK,
Kejaksaan, DPR dan masyarakat harus sinergi dalam memberantas korupsi. Semua elemen
harus bersatu untuk memerangi korupsi secara bersama-sama. Tidak bisa lagi
berjalan sendiri-sendiri apalagi sampai ada sikap saling sandera. Ikhtiar
kolektif itu akan menjadi kekuatan besar untuk menghapus tuntas kejahatan
korupsi.
Jangan lupa, sinergi yang
kuat itu juga harus dibarengi oleh supremasi hukum yang adil dan tegas. Hukum
harus ditempatkan sebagai paglima. Itu artinya, perlakukan hukum bagi koruptor
harus setimpal dan tidak tebang pilih. Siapa pun yang korupsi dan sekecil apa
pun korupsi itu tidak boleh ditolerir. Sanksi hukum yang diberikan pun, baik
itu sanksi penjara maupun sanksi denda, harus pantas dan memberikan efek jera.
Jika ini mampu dilakukan, kita yakin esok Indonesia akan menjadi bangsa yang
kokoh tanpa korupsi.
Selama ini hukuman
penjara bagi koruptor masih ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Lihat
saja, Angielina Sondakh yang korupsi miliaran rupiah hanya diganjar 4,6 tahun
penjara oleh hakim Tipikor. Ini jelas sangat menciderari rasa keadailan rakyat.
Beruntung saja, pada 20 November 2013 MA membatalkan putusan Tipikor itu dan
memperberat Angie menjadi 12 tahun penjara. MA menilai vonis Tipikor terlalu
ringan dan tidak sesuai dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Dari sini kita
harus sadar bahwa dengan hukuman yang berat akan membuat koruptor kapok
sekaligus juga memberikan rasa takut bagi mereka yang mau korupsi.
Terkait denda, sampai
sekarang kita belum pernah mendengar koruptor miskin setelah keluar dari
penjara. Padahal memiskinkan koruptor adalah langkah luar biasa untuk
memberikan efek jera. Selama ini koruptor yang korupsi miliaran bahkan
triliunan rupiah hanya diganjar dengan denda jutaan rupiah. Ada ketimpangan
antara kerugian negara dengan hukuman finansial yang dijatuhkan. Ketimpangan
ini bisa kita lihat pada kasus Angie yang hanya diganjar denda Rp.250 juta dan
sama sekali tanpa uang pengganti. Lagi-lagi beruntung akhirnya MA membatalkan
putusan Tipikor itu dan menjatuhkan denda Rp.500 juta serta uang pengganti
Rp.12, 58 miliar dan $2,35 juta kepada Angie.
Kedua, upaya menghapus
korupsi juga harus dilakukan melalui pendekatan kultural. Harus dipahami bahwa
akar korupsi di Indonesia adalah budaya dan mentalitas korup yang memang sudah
lama melekat. Kalau kita telusuri, budaya korupsi itu ternyata kita warisi dari
VOC dan Orde Baru. Andai saja kita mampu mengikis habis budaya korupsi yang
telah berurat berakar itu kita pasti bisa menghentikan laju korupsi.
Kita harus mengikis
budaya itu dengan cara menguatkan gerakan distingsi. Gerakan distingsi bisa
melalui pendidikan maupun organisasi sosial seperti LSM. Pendidikan antikorupsi
adalah kebutuhan mendasar bagi generasi penerus bangsa. Bila sejak dini ditanamkan
nilai-nilai antikorupsi, maka bukan tidak mungkin ke depan akan bertebaran
generasi bangsa yang bersih. Bukankah kegagalan pendidikan juga menjadi
penyebab lahirnya korupsi? Bukankah para koruptor itu orang-orang
berpendidikan?
LSM dan organisai sosial
yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi tak perlu diragukan lagi
jumlahnya. Tinggal bagaimana kita menjadikannya sebagai gerakan distingsi yang
benar-benar bertaji dan sistemik bagi pemberantasan korupsi di negeri ini. LSM jangan
pernah diam, kobarkan semangat dan berikan masyarakat edukasi tentang
nilai-nilai antikorupsi. Paling tidak, gerakan semacam ini akan membantu
mengikis kultur korupsi yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat.
Ketiga, teladan yang baik
dari pemimpin. Bukan hal asing lagi bahwa selama ini kita sulit menemukan
pemimpin yang bisa memberikan teladan. Kita justru melihat bobroknya perilaku
pemimpin yang tak jarang juga mengkorupsi uang rakyatnya sendiri. Bagaimana
mungkin korupsi bisa diberantas kalau para pemimpinnya saja melakukan korupsi.
Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sejak pilkada
langsung digelar pada tahun 2005 hingga sekarang sudah tercatat 311 dari 530
kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Kini kita membutuhkan
pemimpin teladan yang jujur, bersih, tegas dan berkomitmen memerangi korupsi
(baca artikel “mengenang pemimpin teladan” di www.darwinsaleh.com). Sosok
pemimpin yang mampu menjaga kesucian dirinya dari praktik kotor korupsi. Bila
pemimpin sudah bisa menunjukkan dirinya bebas dari korupsi maka dengan
sendirinya sikap positif itu akan menyebar ke seluruh kehidupan bangsa.
Sebaliknya, bila pemimpin bobrok maka jangan harap bangsa ini akan membaik.
Pemimpin bersih adalah cermin bangsa yang sentosa.
Keempat, pendekatan agama
menekankan bahwa nilai-nilai spiritual agama bisa menjadi senjata
pemberantasan korupsi. Nilai-nilai spiritual itu berupa kejujuran, amanah,
keterbukaan, keikhlasan, kebersihan batin, keagungan moral dan akhlaqul
karimah. Jika batin sudah bersih dan disinari oleh nilai agama maka tidak akan
tergoda oleh perbuatan tercela seperti korupsi. Orang yang berbuat korupsi
sebenarnya adalah orang yang batinnya kering nilai agama. Agama tidak hadir
dalam dirinya sehingga ia tidak punya pegangan moral dan akhirnya terjerumus
dalam perbuatan korupsi.
Selama ini banyak orang
pandai, tapi sedikit orang yang mampu menjalankan ajaran agamanya. Padahal
sudah seharusnya kesakralan agama itu dijunjung tinggi. Nilai-nilai intrinsik
agama sepantasnya diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain,
nilai-nilai yang terkandung dalam agama harus kita hayati dan praktikkan
sehingga menjadi tameng paling kokoh yang dapat menjauhkan kita dari praktik
jahat korupsi. Agama adalah senjata ampuh yang bisa membentengi diri kita dari
perbuatan tercela.
Dengan demikian, kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa perang melawan korupsi adalah kewajiban yang
tak bisa ditawar-tawar lagi. Perang itu bisa kita lakukan melalui pendekatan
struktural, kultural, pemimpin teladan dan agama. Kita boleh saja miris melihat
akutnya perilaku korupsi namun bukan berarti kita diam dan tidak berbuat
apa-apa. Kita harus bangkit, pacu semangat dan lakukan dengan kerja keras untuk
mewujudkan Indonesia yang kokoh tanpa KKN. Jangan biarkan korupsi itu
merajalela karena hanya akan menyebabkan rapuhnya kekuatan bangsa. Semoga!
Penulisan ini
menggunakan konsep normatif, dimana hukum adalah norma, baik yang diidentikkan
dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang
telah terwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah
terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya, dan juga yang
berupa norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada waktu
hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan
dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara
BAB
V
REFERENSI
1.
Yan Wijatmoko. http://hukum-rechtat.blogspot.co.id/2008/12/makalah-tentang-korupsi.html.
Diakses hari kamis tanggal 19 desember 2008
3.
http://emhasejarawan.blogspot.co.id/2015/04/makalah-tentang-korupsi.html Diakses
pada bulan April tahun 2015
4.
Haro Eka Putra http://heroekaputra.blogspot.co.id/2011/12/kasus-kasus-korupsi-dan-analisanya.html Diakses
pada bulan Desember tahun 2011
5.
https://evhhalen.wordpress.com/2015/05/13/peranan-kpk-dalam-memberantas-korupsi-di-indonesia/ Diakses
pada tanggal 13 bulan Mei tahun 2015
6.
Moeljatno. “Asas-Asas Hukum Pidana”.
Penerbit Rineka Cipta. 2008.
7.
Budiono Kusumohamidjojo.”Ketertiban Yang
Adil”. Penerbit Grasindo.1999.
8.
https://guruprivatsmp.wordpress.com/2013/10/18/teori-dan-praktek-korupsi-serta-sebab-sebab-korupsi/
9.
Kiki Zakarya S.H http://suluhbali.co/artikel-pemberantasan-korupsi-harus-didukung-setuju/ Diakses
pada tanggal 28 bulan Agustus tahun 2017.
10.
https://kotakmiftah.wordpress.com/2014/01/29/merajut-indonesia-kokoh-tanpa-korupsi/ Diakses
pada tanggal 29 bulan Januari tahun 2014.

Komentar
Posting Komentar